Kebijakan
mengenai plastik berbayar telah resmi diberlakukan. Setiap masyarakat yang
berbelanja di pasar swalayan wajib membayar Rp200,00 per lembar plastik.
Menurut pemerintah, kebijakan ini diterapkan untuk mengurangi penggunaan
plastik dan menekan dampak buruk limbah plastik terhadap lingkungan.
Menurut
Prof. Ir. Agoes Soegianto, DEA, selaku dosen di Departemen Biologi, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga (FST UNAIR), kebijakan plastik
berbayar belum dirasa tepat. Cara paling efektif menekan jumlah limbah plastik
adalah dengan memperbaiki proses pengolahannya.
“Seperti
kita tahu, pemisahan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) masih belum
dilakukan. Ini murni tanggungjawab pemerintah yang harus mengurusnya. Tidak
dengan cara membebankan pada masyarakat untuk menekan peredaran plastik,” jelas
Prof. Agoes ketika ditemui ruangannya, Senin (22/2).
Prof.
Agoes menyesalkan bahwa penumpukan sampah di TPA masih bercampur aduk. Padahal,
di beberapa ruang publik tempat sampah telah dibuat terpisah. Sebab, pemisahan
sampah menjadi percuma dan limbah plastik akan sulit dipisahkan ataupun didaur
ulang.
Selain
itu, menurut Guru Besar bidang Ekotoksikologi FST UNAIR, kebijakan plastik
berbayar tak akan bisa menyelesaikan masalah sampah plastik. Hal ini justru
akan membuka peluang penyelewengan dana karena tidak adanya kejelasan aliran
uang pengganti plastik.
Permasalahan
sampah merupakan tanggungjawab pemerintah yang membutuhkan komitmen dan
dukungan masyarakat. Untuk itu, perlu adanya imbauan untuk membuang sampah
secara terpisah dan menjaga kebersihan lingkungan bagi masyarakat. Pemerintah
juga harus memiliki komitmen dan tindakan untuk mengolah sampah.
“Penelitian
mengenai pengelohan sampah telah banyak, dan sudah lama dilakukan. Sebetulnya, Indonesia
sudah siap. Pemerintah saja yang belum berkomitmen ke arah sana,” tegas Prof.
Agoes.Menurut
Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang 10 tahun mengikuti isu
sampah, satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per
tahun. Di alam, kantong plastik yang tak terurai menjadi ancaman kehidupan dan
ekosistem (Kompas, 23 Januari 2016).
Kondisi
ini menjadi salah satu pemicu Indonesia dalam kondisi darurat sampah. Namun,
tidak semua masyarakat menyadari kondisi ini. Salah
satu usaha mengurangi sampah plastik adalah dengan menghemat penggunaan kantong
plastik. Caranya membawa kantong plastik belanja sendiri sejak dari rumah.
Hasil
jajak pendapat Kompas menunjukkan tiga dari
lima responden mengakui perlunya membawa kantong belanja sendiri untuk
mengurangi limbah plastik. Beberapa warga bahkan sudah membawa kantong belanja
sendiri saat berbelanja ke mal. Jika
dirunut, perilaku mengelola sampah plastik cenderung dipengaruhi oleh tingkat
pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan, semakin banyak yang menyetujui
kebiasaan ini.
Separuh
lebih responden berpendidikan tinggi setuju dengan kebiasaan ini, sedangkan
responden berpendidikan menengah di angka sekitar 40 persen. Hal
itu berbeda dengan warga berpendidikan rendah (SLTP ke bawah). Responden
berpendidikan dasar yang setuju dengan kebiasaan ini persentasenya tidak
mencapai 10 persen.
Kesadaran
mengurangi plastik pun terlihat dari sisi usia. Responden berusia muda, yaitu
di bawah 35 tahun, cenderung lebih sadar lingkungan. Seperti yang diungkapkan
oleh Gigih (20), seorang mahasiswa di Bandung. Ia menyadari kalau kantong
plastik merupakan limbah yang harus dikurangi dan dapat mencemari lingkungan.
Oleh
karena itu, setiap kali berbelanja di supermarket, ia sering membawa kantong
belanja sendiri. Pengetahuannya soal perlunya menjaga lingkungan kebanyakan
diakses dari internet dan pergaulan di kampus.
Sumber Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar