animasi bergerak gif
Rave

Jumat, 01 April 2016

Plastik Berbayar

Kebijakan mengenai plastik berbayar telah resmi diberlakukan. Setiap masyarakat yang berbelanja di pasar swalayan wajib membayar Rp200,00 per lembar plastik. Menurut pemerintah, kebijakan ini diterapkan untuk mengurangi penggunaan plastik dan menekan dampak buruk limbah plastik terhadap lingkungan.

Menurut Prof. Ir. Agoes Soegianto, DEA, selaku dosen di Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga (FST UNAIR), kebijakan plastik berbayar belum dirasa tepat. Cara paling efektif menekan jumlah limbah plastik adalah dengan memperbaiki proses pengolahannya.

“Seperti kita tahu, pemisahan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) masih belum dilakukan. Ini murni tanggungjawab pemerintah yang harus mengurusnya. Tidak dengan cara membebankan pada masyarakat untuk menekan peredaran plastik,” jelas Prof. Agoes ketika ditemui ruangannya, Senin (22/2).

Prof. Agoes menyesalkan bahwa penumpukan sampah di TPA masih bercampur aduk. Padahal, di beberapa ruang publik tempat sampah telah dibuat terpisah. Sebab, pemisahan sampah menjadi percuma dan limbah plastik akan sulit dipisahkan ataupun didaur ulang.

Selain itu, menurut Guru Besar bidang Ekotoksikologi FST UNAIR, kebijakan plastik berbayar tak akan bisa menyelesaikan masalah sampah plastik. Hal ini justru akan membuka peluang penyelewengan dana karena tidak adanya kejelasan aliran uang pengganti plastik.

Permasalahan sampah merupakan tanggungjawab pemerintah yang membutuhkan komitmen dan dukungan masyarakat. Untuk itu, perlu adanya imbauan untuk membuang sampah secara terpisah dan menjaga kebersihan lingkungan bagi masyarakat. Pemerintah juga harus memiliki komitmen dan tindakan untuk mengolah sampah.

“Penelitian mengenai pengelohan sampah telah banyak, dan sudah lama dilakukan. Sebetulnya, Indonesia sudah siap. Pemerintah saja yang belum berkomitmen ke arah sana,” tegas Prof. Agoes.Menurut Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang 10 tahun mengikuti isu sampah, satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Di alam, kantong plastik yang tak terurai menjadi ancaman kehidupan dan ekosistem (Kompas, 23 Januari 2016).

Kondisi ini menjadi salah satu pemicu Indonesia dalam kondisi darurat sampah. Namun, tidak semua masyarakat menyadari kondisi ini. Salah satu usaha mengurangi sampah plastik adalah dengan menghemat penggunaan kantong plastik. Caranya membawa kantong plastik belanja sendiri sejak dari rumah.

Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan tiga dari lima responden mengakui perlunya membawa kantong belanja sendiri untuk mengurangi limbah plastik. Beberapa warga bahkan sudah membawa kantong belanja sendiri saat berbelanja ke mal. Jika dirunut, perilaku mengelola sampah plastik cenderung dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan, semakin banyak yang menyetujui kebiasaan ini.

Separuh lebih responden berpendidikan tinggi setuju dengan kebiasaan ini, sedangkan responden berpendidikan menengah di angka sekitar 40 persen. Hal itu berbeda dengan warga berpendidikan rendah (SLTP ke bawah). Responden berpendidikan dasar yang setuju dengan kebiasaan ini persentasenya tidak mencapai 10 persen.

Kesadaran mengurangi plastik pun terlihat dari sisi usia. Responden berusia muda, yaitu di bawah 35 tahun, cenderung lebih sadar lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh Gigih (20), seorang mahasiswa di Bandung. Ia menyadari kalau kantong plastik merupakan limbah yang harus dikurangi dan dapat mencemari lingkungan.

Oleh karena itu, setiap kali berbelanja di supermarket, ia sering membawa kantong belanja sendiri. Pengetahuannya soal perlunya menjaga lingkungan kebanyakan diakses dari internet dan pergaulan di kampus. 

Sumber Referensi :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar